28 April 2017

Demi Kedaulatan Negara, Bank Indonesia Menjelajah Nusantara


Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai suatu negara yang merdeka dan berdaulat memiliki Mata Uang sebagai salah satu simbol kedaulatan negara yang harus dihormati dan dibanggakan oleh seluruh warga Negara Indonesia.

Namun apakah simbol kedaulatan itu hadir di batas terdepan Republik Indonesia ini?

Sampai saat ini, itulah yang menjadi catatan kita bersama tanpa terkecuali, mengingat infrastruktur dan pembangunan yang belum merata di setiap daerah. Namun hal ini tentunya bukan menjadi alasan untuk berhenti menjaga kedaulatan bangsa.

Berkaca pada kasus lepasnya Pulau Ligitan dan Sipadan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada tanggal 17 Desember 2002, dimana mata uang yang digunakan oleh wilayah tersebut adalah mata uang negara Malaysia, kebijakanpun dikeluarkan melalui Undang-Undang No. 7 tahun 2011 tentang Mata Uang, yang mengamanatkan bahwa Rupiah wajib dipergunakan dalam setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran, penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang, dan/atau transaksi keuangan lainnya yang dilakukan di wilayah NKRI.

Lalu, bagaimana jika ternyata di daerah perbatasan, mendapatkan Rupiah tidak semudah seperti mendapatkan mata uang negara tentangga?

Di sinilah kemudian Bank Indonesia memainkan perannya sebagai satu-satunya lembaga yang berwenang untuk mengeluarkan dan mengedarkan uang Rupiah serta mencabut, menarik dan memusnahkan uang dari peredaran.

Terkait dengan peran Bank Indonesia dalam mengedarkan uang, Bank Indonesia senantiasa berupaya untuk dapat memenuhi kebutuhan uang kartal di masyarakat tanpa terkecuali baik di daerah perkotaan maupun di daerah terpelosok sekalipun.


Salah satu upaya Bank Indonesia untuk mendistribusikan uang Rupiah kepada masyarakat adalah memberikan layanan kas di luar kantor berupa Kas Keliling, Kas Titipan dan kerja sama penukaran dengan pihak ketiga.

Melalui masterplan Centralized Cash Network Plan (CCNP), Bank Indonesia melakukan gebrakan dengan membuka Kas Titipan di berbagai daerah di seluruh Indonesia. Keberadaan Kas Titipan ini nantinya diharapkan akan mempercepat penyediaan uang kartal bagi perbankan di suatu daerah dan meningkatkan kualitas uang yang beredar di masyarakat. Sehingga jumlah uang tunai yang beredar di masyarakat dalam kondisi layak edar (clean money policy).

Hal ini merupakan salah satu tujuan dari tema transformasi Bank Indonesia yaitu Outstanding Execution di bidang Sistem Pembayaran, yang telah dicanangkan oleh Gubernur Bank Indonesia, Agus Martowardodjo pada tahun 2014 untuk mencapai visi menjadi lembaga Bank Sentral yang kredibel dan terbaik di regional pada tahun 2024.

Sampai dengan bulan April 2017, terdapat 70 lokasi layanan Kas Titipan yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia bekerja sama dengan beberapa bank umum. Angka ini akan terus bertambah sampai uang Rupiah yang diedarkan dapat menjangkau wilayah terpencil dan terluar Indonesia.  


Disamping itu, Bank Indonesia juga menjalin kerjasama dengan TNI Angkatan Laut untuk mendistribusikan uang Rupiah ke daerah terluar dan terpencil di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada tanggal 13 April 2017 telah ditandatangani Nota Kesepahaman (NK) antara Bank Indonesia dengan TNI AL dalam rangka memperkuat kerjasama tersebut. Hingga saat ini, telah dilakukan secara bersama-sama 23 (dua puluh tiga) kegiatan pendistribusian uang dan direncanakan akan diselenggarakan lagi 10 (sepuluh) kegiatan pendistribusian uang di tahun 2017.  Tentunya kegiatan ini akan membantu masyarakat di daerah terpencil sampai dengan perbatasan dapat dengan mudah memperoleh Rupiah, sehingga tidak ada lagi masyarakat yang menggunakan mata uang asing di NKRI.
 Gambar terkait

Bank Indonesia tidak hanya berupaya mendistribusikan uang Rupiah namun juga memperkenalkannya kepada seluruh lapisan masyarakat. Mengenal uang Rupiah tidak cukup dengan mengetahui ciri-ciri keasliannya saja, namun masyarakat juga perlu diedukasi dan disosialisasikan bagaimana uang Rupiah itu tercipta sampai dengan pemusnahannya, sehingga masyarakat dapat lebih menghargai, mencintai dan memperlakukan uang Rupiah dengan baik seperti uang mata uang asing.

Namun tentunya, ini bukan hanya menjadi tugas Bank Indonesia. Adalah tugas kita bersama sebagai warga Negara Indonesia, untuk dapat menegakkan Rupiah sebagai lambang kedaulatan bangsa. Sehingga kedepan, Rupiah jangan lagi menjadi tamu di negeri sendiri.[]

25 Juni 2014

SOAL TOLONG MENOLONG, BIARKAN NURANI YANG BICARA

Ini hanya segelintir kisah yang terjadi dijalanan—ketika kita mau melihat sekitar dan berkenalan dengan orang asing. Bisa jadi ia akan berlalu dengan cepat tanpa meninggalkan apa-apa, atau malah ia akan mewariskan pelajaran berharga bagi hidup kita.

Semoga bisa mengambil hikmahnya.

*****

Cuaca di luar masih menyengat meski waktu sudah menunjukkan pukul empat sore. Geliat pedagang kaki lima kembali memenuhi jalan sekitar Permindo sampai Pasar Raya. Tenda-tenda terpasang berjejer bahkan sampai memenuhi badan jalan hingga merampas hak pejalan kaki. Sorak-sorei pedagang kaki lima sahut bersahutan, menambah ramainya suasana. Para pembeli berebutan memilih baju-baju murah yang ditawarkan. Banyak yang mengeluh, banyak juga yang menikmati pemandangan tersebut. Yang pasti, beginilah kehidupan rakyat yang sering disebut “jelata”.

Sejenak saya ikut larut dalam suasana itu sebelum akhirnya berlalu. Rocky Plaza adalah tujuan utama saya, namun tidak untuk berbelanja atau cuci mata. Hanya numpang singgah di bilik ATM. Beberapa detik saya di sana untuk menguras tabungan sebelum akhirnya keluar dengan kening mengkerut (cukup tahu aja lah tandanya apa).

Dari sana saya mampir ke beberapa tempat untuk membeli jus wortel dan beberapa potong black forest. Kemudian saya memutuskan untuk pulang, karena lama-lama main di pasar bisa menyebabkan gangguan jiwa karena ngebet pengen beli apa aja sementara duit cekak banget. Hahaha…

Sebelum naik angkot saya menyempatkan diri lagi mampir ke penjual pisang panggang dan lompong sagu, sambil menunggu pesanan melirik lagi ke penjual tahu isi. Karena lapar plus ngiler serta napsu akhirnya saya beli semuanya. Lalu dengan senyum puas saya akhirnya pulang naik angkot.

Saat baru saja mendudukkan diri di dalam angkot, ketika seorang nenek di depan saya lantas berkata.

“…paruik amak sakik. Alun makan dari pagi lai.” (perut nenek sakit, belum makan dari pagi).

Saya menatap nenek itu sejenak, lantas tanpa banyak kata memberikan sebungkus pisang panggang yang saya idam-idamkan tadi. Nenek itu menerima dengan senyum dan mengucapkan banyak terima kasih. Lantas ia memakannya dengan cepat.

Saya terenyuh melihatnya. Beberapa penumpang memperhatikan kami dan memandangi nenek dengan curiga.

Saya maklum. Bahkan saya pun mengakui sedikit merasa curiga dengan si nenek. Jaman sekarang banyak sekali modus seseorang untuk mendapatkan belas kasihan. Tidak cukup dengan menipu, bahkan rela menjual kekurangan dirinya untuk mendapatkan uang.

Saya maklum. Saya pun juga ingat pernah ditegur seorang teman.

“…lo baik banget sih. Orang kayak gitu lo kasihani. Mengiba-iba biar dikasih duit. Mana ada orang yang tahan nggak makan. Mana ada orang yang nggak punya duit hari gini…”

Kadang, saya ikut terpengaruh dengan perkataan yang seperti itu. Namun saya tidak dapat menghindarkan diri bahwa rasa iba lebih besar dari kecurigaan saya. Ini soal nurani. Perihal tolong menolong, biarkan nurani yang bicara.

Hal itu yang saya rasakan kepada si nenek.

“…amak tadi pai ka rumah kawan mamintak hutang. Kironyo inyo ndak ado. Amak pai dari pagi lai. Alun makan setek alah e lai. Tadi tajatuah di tolong dek anak sikola. Pitih duo ribu nyo untuak ongkos oto.” (nenek tadi ke rumah teman untuk meminta hutang. Ternyata dia tidak ada. Nenek pergi dari pagi. Belum makan sama sekali. Tadi sempat terjatuh lalu ditolong sama anak sekolahan. Duit cuma punya dua ribu untuk bayar angkot), ujar si nenek terbata-bata.

Saya mendengar ceritanya dengan prihatin.

“Baa kok amak pai sorang se? Anak amak ndak ado?” (kenapa nenek pergi sendiri? Anak nenek nggak ada?) tanya saya penasaran.

“Lai ado anak amak. Tapi jauah di Pakanbaru. Amak tingga sorang. (anak nenek ada. Tapi jauh di Pekanbaru. Nenek tinggal sendiri.)

“Kok amak ndak dibawok dek anak amak? Tu makan amak baa? Sia yang masak? (kok nenek nggak dibawa sama anak nenek? Trus makan gimana? Siapa yang masak?).

“Lai amak di bawoknyo tapi amak ndak dicauahannyo, jadi amak pulang se lai. Makan lai. Karano amak tingga sorang. Ado urang dakek rumah yang maagiah makan taruih. Tadi lai disuruah nyo amak makan mah, tapi amak nio pai lakeh mintak hutang. (nenek pernah diajak sama anak nenek untuk tinggal bersama tapi nenek nggak diurusin, jadi nenek pulang saja. Karena nenek tinggal sendiri, ada orang dekat rumah yang sering memberi makan. Tadi nenek ditawari dulu makan sebelum berangkat, tapi nenek pengen cepat pergi minta hutang.)”

Si nenek bercerita dengan mata berkaca-kaca. Berkali-kali saya melihatnya menggeleng-geleng lalu menarik napas seperti berusaha menabahkan hatinya.

Batin saya tersentuh mendengar ceritanya. Tenggorokan saya tercekat.

Melihat sosok nenek itu, saya lantas teringat dengan nenek saya yang sudah meninggal. Saya ingat ketika nenek saya ditabrak motor dan terjatuh lalu ditinggal begitu saja. Untung ada seorang tukang ojek yang mengenali dan membawanya pulang. Saya teringat juga dengan nenek saya yang sering pergi sendiri untuk menemui anaknya tanpa sepengetahuan kami. Melihat semrautnya Kota Padang saat ini, saya yakin waktu itu nenek saya pernah tersasar, hanya saja ia mungkin bertemu orang baik yang mau menunjukinya jalan pulang atau tujuan.

Saya seperti disadarkan. Mungkin disituasi yang sama, nenek saya juga akan berkicau seperti orang sakit jiwa atau sama mencurigakannya seperti nenek di depan saya. Kalau tidak ada orang baik yang mau membiarkan nuraninya bicara, apalah nasib nenek saya waktu itu.

Terlepas dari jujur atau tidak jujurnya seseorang, pada saat ia meminta, saat itu jugalah pertolongan terjadi dan soal tolong menolong, biarkan saja nurani yang bicara. karena kalau sedikit saja pikiran ikut bicara, keraguan akan memudarkan niat.

Nenek yang duduk di depan saya itu kira-kira berumur 70an. Tubuhnya sedikit bungkuk dan tertatih. Memakai sandal karet berwarna biru dan tas kain berwarna pink.

“…ko amak bawok kain sumbayang mah. Matahuan baa baa dijalan, lai kain untuk disalimuikan (ini nenek bawa kain sholat. Siapa tahu terjadi apa-apa di jalan, ada kain yang bisa menyelimuti).”

Saya tersenyum mendengarnya. Kecurigaan saya hilang seketika.

Seorang cewek di samping si nenek menyelipkan uang lima ribuan ke tangan si nenek dan disambut dengan berkali-kali ucapan terima kasih.

“amak kini ka pulang kama mak? (nenek sekarang mau pulang kemana?)” tanyaku akhirnya.

“amak pulang ka taluak. Naiak oto di pasa tu ndak? Untuang ado pitih untuk ongkos diagian anak tadi tu. (nenek mau pulang ke Teluk Bayur. Naik angkotnya di dekat pasar itu kan? untung ada ongkos dikasih anak tadi).”

Saya kembali tersenyum. Wajah si nenek kali ini tidak selesu tadi. Tapi saya sempat mendengar sendawa si nenek berkali-kali dan saya tahu itu bukan sendawa kekenyangan tapi karena masuk angin belum makan.

Saya lantas mengangsurkan jus yang sedari tadi ragu-ragu ingin saya berikan. Nenek itu menolak, karena ia tidak kuat meminum es. Saya maklum. Lalu saya menggantinya dengan menyelipkan sedikit uang dan sekantong tahu isi yang saya beli tadi. Nenek itu lebih membutuhkan daripada saya.

Dengan mata berkaca-kaca ia mengucapkan terima kasih dan bersyukur.

Tidak lama, ia turun dan berjalan menuju angkot tujuan Teluk Bayur. Kakinya diseret penuh perjuangan. Saya yakin, itu efek dari terjatuhnya tadi.

Dari balik kaca saya memandanginya dengan perasaan sedih. Bagaimana jika yang dijalan itu nenek saya. Atau Ibu saya. Atau Kakak saya. Atau mungkin saya nanti kalau sudah tua. Entahlah apa yang terjadi. Meski saya yakin masih banyak orang baik di dunia ini yang mau menolong, tapi tetap saja perempuan setua itu tidak pantas lagi berada di jalanan. Berjuang untuk mencari sesuap nasi. Berjuang untuk bertahan hidup.

Dalam hati saya hanya berdoa. Doa yang setiap hari saya mohonkan kepada Tuhan untuk nenek saya.

“Ya, Allah. Jika saya tidak bisa membahagiakan nenek di dunia, bahagiakan ia disisi-Mu Ya Allah. Bahagiakan ia dengan cara-Mu. Aamiin…”

Untuk nenek itu, semoga ia selalu bertemu dengan orang baik.
                                                
Padang, 21 Juni 2014

                                                  

29 April 2014

Untitle



Jarum jam sudah menunjukkan angka 1 ketika saya tersadar bahwa hari sudah berganti. Mesin printer masih berderit-derit mengalahkan rasa kantuk yang masih harus saya tahan untuk beberapa jam ke depan. 

Ada yang terlintas dipikiran tiba-tiba melihat angka-angka yang masih sama dengan jarum yang merangkak pelan-pelan memutarinya. 

"Kapan jarum jam itu berhenti?"

Pertanyaan konyol itu melintas tanpa permisi. Mungkin kalau ada seseorang di samping saya saat itu, dia akan tertawa dulu baru menjawab, "kalo batrainya habis. Atau kalo lo cabut batrainya itu jarum bakal berhenti."

Hahaha...Tentu saja. 

Tapi bagaimana kalau batrainya tidak pernah habis dan tidak pernah dicabut? Jarum itu akan berputar teruskah? Apa dia pernah merasakan capek?

"Au ah gelap." Seseorang mungkin tidak mau repot-repot memikirkan itu semua.

Baiklah. Saya tidak ingin memperdebatkan hal-hal sederhana seperti mempertanyakan, "telur duluan atau ayam?" Imajinasi saya tidak sampai ke sana. 

Tadinya saya hanya berpikir bahwa hidup sebenarnya sama dengan perpindahan jarum jam, pergantian hari dan bulan. Angka 1 - 12. Minggu sampai Senin. Januari ke Desember. Lalu kembali lagi. Entahlah suatu hari nanti akan ada upgrade dari itu semua. Ada nama hari lainnya setelah Jum'at mungkin? Atau setelah Desember? Bagaimana kalau jarum itu dilimitkan menjadi 100 saja? Ah, tidak pernah membayangkannya. 

Siklus hidup itu seperti perpindahan jarum jam. Selalu kembali pada angka yang sama. Ada kalanya ia bergerak lambat karena kehabisan enegeri, lain waktu ia bergerak normal seperti seharusnya. Cepat? Waktu rasanya tidak pernah terlalu cepat. 

Jadi kalau kita mikir, "cepat sekali waktu berlalu", itu bukan karena waktu yang terlalu cepat, kita yang hanya tak menyadarinya. Ya, itu karena kita yang terlalu terburu-buru.

Pernah gak dalam hidup ini kita berhenti sejenak (bukan berhenti bernafas ya), hanya untuk melihat sekitar dan bersyukur bahwa hidup ini indah bagaimanapun bentuknya.

Mengutip kata-kata Mbak Windy Ariestanty dalam novel The Journeys 3: 
"Bahagia itu tentang berkenalan dengan kata cukup. Belajar merasa cukup."
Dan bagi saya, bahagia itu sederhana. Sesederhana melihat langit di pagi hari lalu menyadari saya masih diberi kesempatan hidup. 

Lagi-lagi saya berpikir, siklus hidup itu seperti perpindahan jarum jam. Berputar-putar dengan cara yang sama. Lahir. Tumbuh. Dewasa. Pergi. Kembali. Tua. Mati. Begitu seterusnya. Hidup itu tidak konstan. 

Dan karena itulah, saya akhirnya menyadari bahwa setiap orang yang pergi dari hidup saya, suatu saat akan digantikan oleh yang datang. Lalu saya pun akan melupakan apa-apa yang seharusnya tidak (boleh) saya ingat lagi.

Itukan yang dinamakan dengan move on?

*****

Jarum jam berpindah lagi ke angka 3. Mesin print saya sudah berhenti mendengung. Kali ini saya hanya mendengar bunyi gesekan daun-daun ditiup angin di luar sana. Alam seakan mengisyaratkan saya untuk segera beristirahat. 

Sebelum lampu dipadamkan dan mata saya terpejam, saya dikejutkan lagi dengan pikiran saya sendiri. Entah kenapa, hari ini ada yang random dalam pikiran saya. Dan tulisan saya pun menjadi tak beraturan.

Biarlah. Toh, toh Hidup juga terdiri dari hal-hal yang random.

Selamat hari Selasa, everyone ^_^



19 April 2014

Anak Indonesia Tidak Bodoh

 
 


”Tidak ada anak yang bodoh, yang ada hanya anak yang tidak mendapat kesempatan belajar dari guru yang baik dan metode yang benar.”
--Prof.Yohanes Surya


Tahu Yohanes Surya?

Di dunia yang serba canggih dan full information sekarang ini siapa yang tidak kenal dengan Beliau. Namanya bisa dicari dengan mudah di google, profil berikut prestasi-prestasinya akan tersedia dengan segera. 

Prof. Yohanes Surya PhD adalah seorang fisikawan Indonesia yang telah melahirkan segudang prestasi ditingkat Internasional. Cum laude dari Collage of William and Mary, Virginia, Amerika Serikat ini juga dikenal sebagai pembimbing Tim Olimpiade Fisika Indonesia (TOFI). 

Di bawah bimbingannya, anak-anak Indonesia berkali-kali merebut gelar juara berbagai olimpiade fisika dan sains dunia yang sangat bergengsi. 54 medali emas, 33 medali perak dan 43 medali perunggu telah diraih pelajar Indonesia di dalam berbagai lomba olimpiade tingkat internasional. Bahkan pada tahun 2006, Pelajar Indonesia menjadi juara dunia, mengalahkan 86 negara. 

Prestasi-prestasi dan kegeniusannnya tentu tidak diragukan lagi oleh kita semua. Berbagai penghargaan nasional maupun Internasional menjadi pembuktian akan kehebatannya. Namun ada hal menarik lainnya yang menjadi nilai tambahnya sebagai seseorang yang genius. Yaitu dedikasinya untuk memajukan anak-anak Indonesia khususnya bagi mereka yang berada di daerah tertinggal. Tak terkecuali Papua.
"Carikan saya anak yang paling bodoh dari Papua, akan saya latih."
Bagi saya, pernyataan itu sangatlah mustahil. Bagaimana melatih seorang anak yang paling bodoh dari daerah tertinggal seperti Papua? 

Namun bagi beliau hal tersebut tidaklah mustahil. Pernyataan tersebut ia buktikan dengan menjadikan anak kelas 2 SD dari Papua yang sudah tinggal kelas 4 kali, jadi juara matematika tingkat nasional dan juara membuat robot. Serta banyak lagi anak-anak Papua yang sudah berhasil bicara dikancah dunia di bawah bimbingannya, salah satunya bahkan pernah meraih Nobel Fisika. Briliant! 

Bahkan di daerah yang serba terbatas seperti Papua tidak menyurutkan keyakinan beliau bahwa pada dasarnya semua anak Indonesia itu cerdas jika diberikan kesempatan dan dilatih dengan baik.

Sosok dan pemikiran beliau yang maju, optimis dan berdedikasi mengingatkan saya pada seorang Soekarno. Yup, Bapak Proklamator Indonesia sekaligus presiden pertama Indonesia.

Semangat beliau yang berapi-api menjadi inspirasi tersendiri bagi saya. 
"Berikan aku 10 pemuda maka akan kuguncang dunia."
Itu adalah kalimat paling membakar dari seorang Soekarno. Optimis dan penuh keyakinan.

Saya mungkin bukan seseorang yang diperuntukkan Tuhan sebagai pendidik apalagi motivator tapi entah kenapa soal pendidikan, memberi semangat dan mencerdaskan orang lain merupakan impian terbesar saya. Mungkin karena dulu pernah bercita-cita sebagai guru kali ya. hehe... atau barangkali cita-cita itu masih bersemayam dalam jiwa saya. Entahlah. Tapi suatu hari nanti saya akan mendirikan sebuah perpustakan untuk mereka yang haus akan informasi dan ilmu pengetahuan. Sekaligus membuat gerakan "gemar membaca" dan mengembalikan popularitas perpustakaan dan taman bacaan sebagai tempat favorit menimba ilmu. Semoga. Aamiin...

Prof. Yohanes Surya dan Ir. Soekarno, hanyalah segelintir orang yang mencatatkan namanya sebagai tokoh inspirator dan mendedikasikan dirinya untuk Indonesia, tapi saya yakin diluar sana masih banyak tokoh-tokoh lainnya yang tanpa pamrih berjuang untuk Indonesia. Pahlawan tanpa tanda jasa. 

Suatu hari, jadi apapun kita semua, seberat apapun tugas generasi muda ke depan dan sepelik apapun masalah yang terjadi di Indonesia, kita semua harus selalu percaya bahwa masih dan akan selalu ada orang-orang yang menyanyikan lagu
"Padamu negeri, kami berjanji.
Padamu negeri, kami berbakti.
Padamu negeri, kami mengabdi.
Bagimu negeri, jiwa raga kami"
...dari hatinya.

Semoga.

"Mendidik adalah kewajiban setiap orang terdidik."
--Anis Baswedan

"Kita tidak bodoh, tapi dibodohkan. Kita tidak miskin, tapi dimiskinkan, oleh sebuah sistem.
--Ir. Soekarno


*****


Sumber bacaan :






17 April 2014

Suatu Hari, Pa.



"Kamu sudah terlalu banyak memikirkan kami, nak, kapan kau akan memikirkan dirimu sendiri? Menikahlah, nak. Temukan bahagiamu di sana."

"Apa kau punya seseorang? Kapan kau akan mengajaknya ke rumah? Kenalkan dia kepada kami."

*****

Suatu hari, Pa. Akan ada seseorang yang datang menemuimu. Duduk dengan gugup di ruang tamu--dihadapanmu. Kau akan menyambutnya dengan curiga, lalu mengamatinya lamat-lamat. Kau akan bertanya banyak hal seperti menginterogasi. Kau akan membuat nyalinya menciut. Tapi kau tahu, Pa? Dia berbeda. Dia tidak akan pergi sebelum mengatakan apa yang ingin ia katakan. Dengar, Pa. Dengarkan dulu ia berkata.

Sir, I'm a bit nervous
'Bout being here today
Still not real sure what I'm going to say
So bare with me please
If I take up too much of your time,
See in this box is a ring for your oldest
She's my everything and all that I know is
It would be such a relief if I knew that we were on the same side
Cause very soon I'm hoping that I...

Can marry your daughter
And make her my wife
I want her to be the only girl that I love for the rest of my life
And give her the best of me 'til the day that I die, yeah
I'm gonna marry your princess
And make her my queen
She'll be the most beautiful bride that I've ever seen

Suatu hari, Pa. Akan ada seseorang yang datang menemuimu. Dengan perasaan tulusnya, berani meminta putri bungsumu ini untuk ikut bersamanya--menjadi pendamping hidupnya selamanya. Aku ada di balik pintu kamar, Pa. Mengintip sedikit--mendengarkan apa yang kalian perbincangkan dengan perasaan berdebar-debar. Kau tahu, Pa, aku menangis. Terharu. Bahagia.

Dia bukanlah seseorang yang menjadi tokoh utama dalam semua cerita yang kutulis. Dia bukanlah seseorang yang membuat malam insomniaku menjadi menyenangkan. Dia juga bukan seseorang yang membuat kupu-kupu berterbangan di perutku. Dia juga tidak pernah singgah dalam pikiranku selama ini. Aku tahu dia ada, tapi tak pernah menyadarinya. Aku tak pernah menyebut namanya dalam doa-doaku, Pa. Tapi mungkin dia adalah seseorang yang selalu menyebut namaku dalam doa dan sujudnya. Entahlah. Saat itu aku hanya percaya, dia adalah seseorang yang diutus Tuhan untuk membimbingku ke surga.

Bagaimana denganmu, Pa? Apa kau sama terharunya denganku? Apa kau bahagia? Dia orang pertama yang datang, Pa. Aku berharap dia yang terakhir.

She's been here every step
Since the day that we met
So don't you ever worry about me ever treating her bad
I've got most of my vows done so far 
And till death do us part
There's no doubt in my mind
It's time
I'm ready to start
I swear to you with all of my heart...

Tatap matanya, Pa. Dia tidak menggombal. Aku yakin kau tahu itu.

The first time I saw her
I swear I knew that I'd say I do  

Suatu hari, Pa. Akan ada seseorang yang datang menemuimu. Dengan kesederhanaanya, ia memperlihatkan kesungguhannya memilihku.

Can marry your daughter, sir?

Dan saat itu datang, apa kau siap, Pa?

*****

"Menikahlah, nak. Kau sudah pantas untuk itu."

*****

Aku akan, Pa. Suatu hari....





PS: Lirik By. Brian Mc Knight - Marry Your Daughter